BZWI8C3qMxmdvudEkXnedhGzdjepF89oa9U6FDLb

Artikel Pilihan

Cerita Inspirasi dari Ibu Dewi Linggsari, Penulis Novel Sali

Bisa Karena Terbiasa: Cerita Inspirasi dari Ibu Dewi Linggsari, Penulis Novel Sali (Part 2 )
Dewi Linggsari
Cerita inspirasi dari ibu Dewi Linggasari penulis Novel Sali; tentang pembiasaan dan manfaat menulis bagi jiwa.

Menulis menyembuhkan luka maka teruslah menulis. Kalimat itu yang terucap di awal perbincangan saya dengan penulis novel Sali, Ibu Dewi Linggsari. 

Melalui sosial media beliau bagikan banyak kisah inspiratif tentang hidup dan bagaimana seharusnya hidup yang menjadi berkat. 

  1. Di sana ada kisah tentang rumah sebagai lembaga pendidikan yang pertama.
  2. Ada juga refleksi humanis yang dikemas dalam tulisan yang mengundang tanya, "kok bisa ya" dan banyak hal yang lainnya. 

Silakan simak terus tulisan ini, barangkali ada manfaatnya buat kita yang disebut orang tua dan kaum muda yang sedang gundah karena tulisan ini adalah solusi alternatif buatmu.


Rumahmu adalah Sekolah Hidup 

Bisa Karena Terbiasa: Cerita Inspirasi dari Ibu Dewi Linggsari, Penulis Novel Sali (Part 2 )
Ibu Dewi dan buku/sumber face book ibu Dewi
Dewi Linggsari Penulis Novel sali, puluhan karya tulis sudah dipersembahankan pada sidang pembaca. Selain Sali, barangkali sobat pernah membaca buku; 

  1. Asrama Putri
  2. Ukiran Asmat
  3. Zaman
  4. Kapak dan yang lainnya.
Di atas hanya beberapa yang disebutkan. Masih banyak novel maupun buku kumpulan puisi berhasil disediakan untuk dunia sastra dan literasi.
Bisa Karena Terbiasa: Cerita Inspirasi dari Ibu Dewi Linggsari, Penulis Novel Sali (Part 2 )
Ibu Dewi dan Literasi/sumber foto face book ibu Dewi  

Produktifitas dalam menulis yang dilakukan oleh ibu dua anak ini, karena beliau selalu menyediakan waktu khusus untuk menulis setiap harinya.

"Sebelum urusan kantor dan hal lain saya coba sediakan waktu di pagi hari untuk menulis" kata beliau. Intinya sediakan waktu khusus untuk menulis, soal pagi, siang atau malam itu fleksibel; disesuaikan dengan kesibukan masing - masing, jelas beliau lebih lanjut.

Pola hidup yang demikian rupanya ditanamkan sejak kecil dari orang tua.

Ibu saya seorang guru, beliau selalu membawa buku ke rumah untuk dibaca. Setiap hari buku yang datang berbeda - beda. ujar alumni UGM yang juga tertarik pada dunia fotografi itu.

Melalui cerita masa kecil Ibu Dewi Linggsari di atas maka ada 1 hal menarik yang menjadi pelajaran hidup kita semua. Silakan simak penjelasan saya berikut ini.

Bisa karena Terbiasa

Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi apa yang diinginkannya. Entah itu menjadi penulis novel, fotografi, atau seorang atlet sekalipun. Kuncinya ialah membiasakan diri untuk melakukannya. Dimulai dari masa kecil dan hal - hal yang sederhana. 

"Saya menulis sejak SD tetapi belum dipublikasikan, SMP dan SMA baru dipublikasikan. Itu pun di majalah dinding sekolah" cerita masa kecil beliau.

"Waktu kuliah, saya menulis antalogi puisi", kenang beliau tentang lika - liku perjalanan menulisnya.

---***---

Kini beliau bekerja sebagai abdi negara di Asmat Papua. Selain melayani masyarakat Asmat sebagai abdi negara.

Beliau selalu sempatkan diri untuk menekuni hobinya yang lain yakni fotografi. Sedangkan menulis dan memberikan edukasi tentang literasi di sekolah maupun perguruan tinggi merupakan sisi lain dari pelayanaannya di tanah Papua.  
Bisa Karena Terbiasa: Cerita Inspirasi dari Ibu Dewi Linggsari, Penulis Novel Sali (Part 2 )
Ibu Dewi dan Fotografi/sumber foto face book ibu Dewi 

Di tengah kesibukan tersebut, beliau tidak pernah lupa tentang tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan istri.

Kegiatan yang sangat padat tetapi dilakukan dengan seimbang. Kuncinya membagi waktu antara hobi, karya, pengabdian, dan tugas sebagai ibu dan seorang istri.

Itu semua bisa dilakukan beliau karena rumah adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Kebiasaan - kebiasaan baik yang dilakukan sejak kecil akan menjadi pola hidup positif bagi seseorang.  

Prinsipnya bisa karena terbiasa. Semua kita bisa menjadi apa pun yang kita inginkan, kuncinya biasakan diri untuk melakukannya.

Menulis Menyembuhkan Luka dan Membebaskan Jiwa.

Seno Gumira Ajidarma, penulis dan sastrawan mengatakan, "menulis adalah cara untuk berkata (bicara)..." 

Menelisik kesibukan zaman ini, siapa yang mau mendengarkan siapa?. 

Nyaris tidak ada ruang untuk sekedar berkeluh kesah. 

Semua orang sibuk dengan urusan masing - masing. Zaman semakin canggih, dalam ruang keluarga terciptalah gaudium yang jauh mendekat yang dekat menjauh karena gadjet yang disalah fungsikan.

Di lain pihak, pengakuan, didengar dan teman berbagi cerita adalah kebutuhan normatif setiap individu. 

Mari kita ambil contoh. 

Seorang remaja putri yang baru pertama kali "kedatang tamu" karena proses biologis. Tentunya bingung mengapa ini terjadi, dia butuh penjelasan dari orang dewasa tentang apa yang dialami. Namun hal - hal seperti ini nyaris sepi di ruang keluarga. 

  • Ibu sibuk dengan tiktok,
  • Bapak sibuk bisnis dan 
  • Anak sibuk dengan belajar jarak jauh. 

Pertanyaan reflektifnya ialah siapa yang bisa mengisi kekosongan jiwa? 

Dalam istilah gaul remaja Indonesia bagian timur, "sapa yang mo help"?

Jawabannya beragam, namun tips dari ibu Dewi Linggsari layak untuk dijadikan solusi alternatif.  Jika tidak ada yang mendengarkan maka bicaralah melalui tulisan karena tulisan mampu menyembuhkan luka, kata beliau. 

Apa yang dikatakan ibu Dewi di atas bukanlah tanpa riset tentang kebermanfaatnya. Dalam dunia kesehatan terdapat 7 manfaat menulis bagi kesehatan jiwa setiap orang. Linknya akan saya taruh di bagian akhir dari tulisan ini.

Jadi selain berkomunikasi dengan sang khalik yang memberi kehidupan bagi semesta ini. Barangkali menulis bisa dijadikan solusi alternatif bagi jiwa yang tidak terucap.

Sali Pembebasan Diri dari Belenggu Rasa

Jiwa dalam raga, di sana ada rasa tentang manusia dan kehidupan. Barangkali sobat yang membaca tulisan ini pernah membaca Novel Sali, jika belum silakan dibaca. 

Banyak kisah inspiratif dalam novel tersebut. 

Novel Etnografi Papua berlatarka kehidupan sosial Perempuan Suku Dani. Awalnya adalah catatan pribadi sang penulisnya (Ibu Dewi) pada saat perjalanan dinas ke Wamena Papua pada tahun 1994. 

Sebulan di tempat itu, beliau 'melihat dengan hati'; masalah budaya patriarkat yang menganak pinak dan berdampak pada kaum wanita. 

Rasa ibah pada sesama kaum namun tanpa daya untuk membantu. Akhirnya beliau menuliskan pengalaman perjumapaan itu dalam bentuk novel yang diberi judul Sali. 

Jadi sali merupakan catatan harian saat beliau menjalankan perjalanan dinas di tempat itu.

Apa yang dilakukan ibu Dewi di atas yang menarik untuk diteladani. Caranya ya dengan menulis. 
Bisa Karena Terbiasa: Cerita Inspirasi dari Ibu Dewi Linggsari, Penulis Novel Sali (Part 2 )
Ibu Dewi dan Testimoni/Sumber foto Face Book masa depan Papua

Menyuarakan suara dari kaum yang tidak bersuara bisa dilakukan dengan beragam cara. Berdemo bisa dilakukan karena konsitutisi Indonesia menjaminnya.

 Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. 

Dasar hukum undang-undang ini adalah : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.

Selain itu, pilihan alternatifnya ialah bersuara lewat sastra seperti yang dilakukan oleh Ibu Dewi Linggsari dalam Novel Sali. 

Prinsipnya saat jurnalisme dibungkam, kebebasan berpendapat dihalangi maka sastra yang berbicara. Sali adalah contoh nyata dari pernyataan saya di atas.

Resume Cerita Inspirasi Bersama Ibu Dewi

  • Dewi Linggsari adalah seorang abdi negara yang bertugas di Asmat Papua.
  • Menekuni dunia tulis sejak SD dan mulai mempublikasikan karya tulisnya pada saat SMP dan SMA melalui Majalah Dinding Sekolah.
  • Kebiasan menulis bukan karena orang tuanya adalah penulis, melainkan kebiasaan membaca yang diajarkan (dibiasakan) oleh kedua orang tuanya sejak masa kanak - kanak.
  • Menulis dapat menyembuhkan luka batin karena dengan menulis siapa pun bisa mengungkapkan semua hal yang tidak bisa diungkapkan lewat kata. Itu adalah terapi bagi jiwa, maka mulailah menulis dari sekarang karena menulis itu menyembuhkan luka.
  • Menyuarakan suara dari kaum yang tidak bersuara bisa dilakukan dengan beragam cara, menulis dan melalui sastra adalah salah satu cara alternatif yang bisa dilakukan. Contohnya ibu Dewi melalui novelnya yang berjudul Sali.

Kesimpulannya:

  1. Bisa karena terbiasa.
  2. Bersuara tidak harus berteriak.
  3. Gelisah adalah alamiah menulis adalah solusi.
Temui ibu Dewi melalui postingan yang berjudul Ayo menulis oleh Ibu Dewi Linggsari Penulis Novel Sali.

  • Sumber foto: Face book Ibu Dewi Linggsari
  • Face book: Masa depan Papua
  • Sumber tulisan: Hasil wawancara bersama Ibu Dewi Linggsari
  • Media yang digunakan: mesenjer.
Penulis: Martin Ruma
 
Bisa Karena Terbiasa: Cerita Inspirasi dari Ibu Dewi Linggsari, Penulis Novel Sali (Part 2 )
Baca Juga
Martin Ruma
Montir di Bengkel Kata. Sharing personal tentang Parenting, Guru, Menulis, LDK dan Blogging.

Artikel Terkait

Posting Komentar