BZWI8C3qMxmdvudEkXnedhGzdjepF89oa9U6FDLb

Artikel Pilihan

Jejak Kaki dan Cerita Rindu di Jayapura Papua

Jejak Kaki dan Cerita Rindu di Jayapura Papua
Perjalanan Kerrom - Jayapura Saat Menjadi Wartawan
Mendengarkan instrumen lagu-lagu taize sambil mengetik, serasa kenangan di “tembok-tembok sunyi” tempo dulu tercipta. Instrumen ini lalu mengantar saya untuk kembali berjibaku dengan realitas.

Realitas tentang di sini, di tanah ini. Realitas yang direfleksi kembali. Buku, kenangan, dan masa depan adalah inspirasi yang tetiba datang tatkala nada, suara dan dengung memikat telinga. Bunyi nan harmonis membuat saya fokus dan terus menulis tentang apa pun yang mau saya tulis.

Huruf-huruf dalam keyboard laptop kesayangan ini seakan menyatu dengan jari. Jalan tanpa hambatan menata aksara. 

Tahun-tahun dengan aneka kisahnya, adalah waktu yang terlalu lama, dan disayangkan untuk tidak ditulis. Meski dalam ruang dan waktu yang berbeda, toh tidak menghilangkan nilai hakikinya. Ada banyak hal yang saya dapat di tanah ini. Banyak hal itu mengajarkan tentang peri kehidupan, baik dengan sesama, maupun dengan Tuhan. 

Siapa pun yang tinggal di kota ini, hampir pasti punya cerita. Aneka pengalaman akan menjadi kenangan. Makanannya, udaranya yang dihirup, alam dan penduduknya, setidaknya mengajarkan kita banyak kehidupan yang bernilai. 

Kesederhanaan, mencintai budaya dan identitas diri, kritis terhadap ketidakadilan dan penipuan yang direproduksi sedianya yang menjadi keniscayaan. 

Bekal itu nanti akan diteruskan kepada anak cucu. Bahwasannya, siapa pun yang meremehkan budaya dan tradisi kita, dia itu yang bakal menjajah kita secara psikologis. Lalu merambah ke alam dengan kekayaannya. 

Tentu kita tak menginginkan tanah dan segala milik kita direbut habis-habisan. Lalu kita jadi penonton. Tidak! 

Kesemua hal yang saya sebut di atas, merupakan refleksi suatu ketika, tatkala pulang kampung, seusai kuliah di Port Numbay beberapa tahun silam. 

Port Numbay adalah sebutan orang asli penduduk atau pemilik ulayat Kota Jayapura. Nama kota yang didirikan seratus sebelas tahun lalu ini bergonta-ganti; dari Hollandia, Kota Baru, Sukarnopura, sampai kini Jayapura. 

Di kota ini banyak cerita tawa, bahagia, dan mungkin pilu. Bergantian dan penuh warna. Tapi kali ini saya ingin menceritakan hal spesifik, yang membuat kau pasti ingin kembali. 

Seperti kata Kaka-Kaka dari Black Brothers dalam lagunya; pergi untuk kembali. Bukan sekadar lelak-lekuk teluknya, atau lautan luasnya, atau “Hongkong di Waktu Malam“-nya. 

Bukan itu yang mau saya bagikan, melainkan pertama-tama religiositasnya yang terjelma dalam "peta" dan papeda.

Ada apa dengan dua “barang” ini? Peta, yang pasti bukan “google map“. Bukan pula buku bergambar pulau Papua dan lautan pasifik, serta negara Papua Nugini, Australia dan Republik Palau. Atau yang sambung-menyambung menjadi satu. Bukan pula globe. 

Ups… Globe? Bila merujuk pada bentuknya yang bulat, bisa jadi iya. Barangkali masih ada relevansinya.  

Daripada mendayu-kemayu, berlama-lama, maksud saya, peta adalah akronim dari “pegang tangan”. Kitong di Jayapura biasa menyebut “jabat tangan” dengan peta. Tapi bukan asal jabat tangan lalu disebut peta. 

Natal dan lebaran adalah dua momen yang ditunggu-tunggu. Tidak hanya oleh anak-anak yang akan menjadi “pasukan kaleng”, tapi juga oleh sanak keluarga dan orang-orang dewasa. Apalagi anak kuliahan yang tinggal di kos. 

Suatu ketika saat natal, saya diajak kawan-kawan untuk peta. Tanpa pikir panjang saya menyiapkan peta. Cek di Gramedia. Peta itu saya simpan di saku saat jalan nanti. Biar dibilang turis, jadi. 

Menjadi anak kos, kuliah, dan sambil bekerja bagi kami saat itu, merupakan masa “mati-hidup”. Leher putus alias lepu. Maka disiasati dengan mengurangi stok rokok. Bahasa kerennya: Hemat pangkal bertahan.

Prinsip hidup untuk bertahan tentu beralasan. Sebab “hasil keringat” akan dibagi-bagi ke dalam beberapa kelompok pengeluaran. Ada kelompok “beli KRS”, kelompok bayar kos, makan-minum, malam mingguan atau apel (bendera), fotokopi, print paper, makalah, dan lain-lain. Oleh karena itu, peta menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Momen makan enak, makan banyak, minum banyak, dan sebanyak banyaknya. 

Saat peta biasanya anak-anak kos ini “serbu” pemilik rumah. Tak jauh bedanya dengan “pasukan kaleng” tadi. Datang lenggak-lenggok, pulang seperti dari supermarket. Kresek dipenuhi “belanjaan’ dari pemilik rumah.

Natal dan lebaran bergantian. Saat natal kau yang tinggal di luar Papua, pasti terkesima. Sebab saat ini, siapa pun berbondong-bondong datang untuk peta. Tak peduli apa agama atau sukunya. 

Yang penting kitorang satu Jayapura. Datang merayakan hari bahagia umat beragama yang kita kunjungi. Begitu pun sebaliknya. 

Saat lebaran juga kau pasti terkagum melihat pemandangan yang indah di rumah. Yang datang pakai kalung salib. Dari kalung ukuran sebesar peniti sampai salib seukuran besi terali, dari sepanjang leher sampai tali pusar–semua berangkulan. 

Rangkulan dan jabat tangan dibarengi ucapan “mohon maaf lahir dan batin” kepada tuan rumah–teman dan sanak keluarga. 

Jadi, kami petanya dari Sentani sampai Jayapura Utara, dari Keerom sampai Jayapura Selatan. Keliling dari pagi sampai malam. 

Ya, itu tadi. Berputar-putar bagai globe. Praktis dapur kosong saat peta. Kami gantung periuk! Setelah pulang pun berlama-lama di toilet karena berbagai jenis makanan, kue-kuean, dan minuman masuk di perut. Usus bekerja ekstra keras. 

Lalu soal papeda. Papeda itu nama makanan dari bahan sagu. Tepung sagu yang dipanaskan. Lalu diputar-putar sehingga tampak seperti lem kanji. Ia dicampur kuah ikan, rica-rica atau lombok, dan bunga pepaya atau jenis sayuran lainnya, serta keladi. 

Siapa pun yang belum coba tentu bertanya: ini makanan apa e? Tapi sekali saja kau merasa, lidahmu bakal ketagihan. Kau bakal ketagihan bak merindu seruput kafein dan mengisap nikotin. Atau kangen merapal syair-syair ritmis pujangga Lebanon, Kahlil Gibran. 

Saat papeda di atas piring, siap saji: lidahmu pasti bergoyang (turun naik), tenggorokan berbunyi menelan liur, dan perut paduan suara menyambut makanan khas orang Papua ini.

“Woi papeda cepat sudah!!” 

Dalam sebuah kesempatan di paruh akhir 2017 di Jakarta, saya berbincang dengan salah seorang teman. Dia dari Filipina. 

Kami ngobrol dan saya memerkenalkan diri, bahwa saya datang dari Jayapura. Dia mengaku pernah ke Papua. Tapi bukan di Jayapura. Saya tanya apa kesannya tentang Papua. Katanya banyak hal menarik dan berkesan. 

“Pernah makan papeda?” Saya bertanya. 

Tentu saja jawabannya pernah makan, dan itu sangat lezat. Saya pun menantangnya agar sesekali waktu mengunjungi Papua lagi. 

“Satu hal yang membuat saya ingat Jayapura dan ingin kembali adalah makan papeda,” kata kawan saya yang lainnya, pada suatu kesempatan. 

Ya, papeda. Papua penuh damai. Damai saat makan bersama. Pacem in Papua. Papeda bisa membikin persaudaraan dan kekeluargaan menjadi lengket. Selengket cinta kaka untuk ko ade nona. Aduuu mama sayang ee….!!! 

Kawan komika jebolan SUCI 7 Kompas TV, Mamad Alkatiri bilang, kalau uang triliunan dari “perusahaan raksasa itu” bikin papeda, mungkin satu Indonesia ini lengket. 

Ya, peta dan papeda. Dua hal ini sedianya tak luput dari subjektivitas penulis. Namun, saya sependapat bahwa tiap pribadi itu berbeda dan unik. Termasuk beda dalam menilai suatu objek atau memaknai pengalaman masing-masing. 

Dari pada berceloteh dan lelah membaca, baiklah kau mengambil secangkir kopi, mencoret-coret pada diari atau aplikasi notepad ponsel cerdasmu. Siapa tahu garis-garis dan coret-coretan itu menjadi sebuah sketsa yang artistik.  

Pelukis Plinius dalam Wuwur (1991, 74), dalam sebuah kesempatan mengatakan, "Tada satu hari pun tanpa dilewati dengan membuat sebuah garis (nulla dies sine linea). Gambar tidak akan jadi bila tidak membuat garis kecil di atas kertas."

Saya boleh memformatnya sesuai versi saya: Nulla dies sine verba. Tiada hari tanpa kata. Tidak melewat sehari pun dengan menulis sebuah kata (kunci).

Kata kunci itu kemudian dikembangkan menjadi rangkaian kata, lalu menjadi kalimat. Kalimat-kalimat akan dirangkai menjadi paragraf. Jadilah sebuah tulisan ringkas dan tak bernas ini.

Tulisan tak bernas ini pun diramu dari sekumpulan data dan fakta tentang apa yang disebut: alasan merindu Port Numbay.

Sambil mengusap peluh di wajah sederhana ini, saya memencet gawai, merangkai huruf demi huruf. Dan mengimajinasikan hal yang seharusnya ditulis.

Matahari yang memanggang kulit, langit biru kelabu yang menatap tanah Tabi, dan angin sepoi-sepoi adalah teman saat kisah ini bermula.

Kembali ke muka. Apakah kau punya alasan untuk menapak tilas, melukis kisah, dan menyingkap fakta tentang kerinduan?

Rindu itu berat Milea, kata Dillan dalam Dillan 99, Aku saja. Hah...

Tapi saya mau katakan, yang terberat adalah memikul rindu, untuk pulang ke kota berpenduduk 400 ribuan jiwa ini.

Ya, tidak ada alasan untuk tidak merindu ibu kota Provinsi Papua, yang memiliki lima distrik ini. Setidaknya banyak alasan merindu kota ini.

"Semua kota besar berkali-kali aku singgah. Dan betapa megahnya tapi tiada seindah Jayapura." Demikian syair lagu "Kotaku Jayapura" dari grup legendaris asal Tanah Papua, Black Brothers.

Dari sisi sejarahnya, budayanya, alamnya, penduduknya, pantainya yang indah, Jayapura layak dirindukan. 

Lebih rindu daripada merindukanmu nona. Tapi secara singkat, merujuk nama awalnya Kapten Inf. FJP Sachse, 7 Maret 1910, namanya Holandia. Hol artinya lengkung, land yang berarti tanah. Holandia artinya tanah yang berlekuk-lekuk, lengkung.

Bisa jadi nama ini diinspirasi dari nama negeri asalnya, Belanda, nun jauh di benua biru. Sebab di pantai utara negeri Ratu Wihelmina, tanahnya berteluk-teluk dan tanjung seperti ibu kota Provinsi Papua ini.

Tiga ratus enam puluh lima tahun sebelumnya, bangsa Spanyol, konon pernah menyinggahi Port Numbay. Pelaut Ynigo Ortis de Fretes, tahun 1545, bersama kapalnya San Juan, dalam pelayaran dari Kerajaan Tidore, Maluku menuju Meksiko, menyinggahi kawasan ini, di muara Sungai Mamberamo. Ia menamainya dengan Nova Guinea.

Demikian secara singkat dari namanya. Selebihnya kau bisa membuka arsip-arsip di perpustakaan Provinsi Papua atau di internet.

Tapi saya pada kesempatan ini, hanya menulis seputar pandangan mata, sebuah impresi sederhana tanpa tedeng aling-aling. Sungguh, alam ini sangat eksotis. Lagi unik.

Saya kira, siapa pun yang pernah ke kota ini, apalagi tinggal di dalamnya, menikmati kehidupannya siang dan malam, setuju bahwa kota ini layak diabadikan keindahan alamnya.

Pesona alamnya unik. Teluk dan tanjungnya, bukit dan pantainya, serta keteduhannya  yang menyimpan aneka kenangan.

Pantai Hamadi, Teluk Youtefa, Kampung Tobati dan Enggros, Pasir 2, Pasir 6, Base G, Holtekamp, Skouw, dan Pantai Dok 2, adalah tempat untuk para wisatawan melepas penat. Warga berbondong-bondong ke sini.

Semua wilayah kota dengan luas 940 km2 dan penduduk yang heterogen ini, dikelilingi pantai yang indah. Yang terbaru adalah tempat yang "instagramable". Sebut saja Pasir 6 yang berada di Distrik Jayapura Utara.

Penghubung Kabupaten dan Kota Jayapura. Tak kalah juga Bukit Jokowi yang berada di kawasan Skyline, Distrik Jayapura Selatan. Dari sini kami boleh menikmati lautan teduh di Teluk Youtefa dengan Kampung Enggros dan Tobati yang aduhai. 

Lagi-lagi tentang sebuah kerinduan. Tentang kerinduan yang membuncah. Bukan hanya rindu pada sang kekasih. 

Tapi rindu ini tentang kekasih dan kotanya. Kota Jayapura dan segala isinya: manusia, alam, dan budayanya. "Ke Jakarta aku 'kan kembali walaupun apa yang terjadi." Demikian lagu Koes Plus dengan "Kembali ke Jakarta"-nya. 

Atau KLA Project dengan "Yogyakarta": "Walau kini kau t'lah tiada tak kembali. Namun kotamu hadirkan senyummu abadi. Izinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi. Bila hati mulai sepi tanpa terobati."

Kini pun tentang Jayapura. Kota dengan teluk berlekuknya, tanjung dengan punggung yang menggunung. Berjejer selepas pantai utara. Tanah yang membentang dari Waena sampai Skouw, dari Pasir Enam sampai Sentani. 

Gitaris Black Brothers, Hengky Merantoni dalam syair indahnya (1970), saya kutip: "Itulah kotaku Jayapura di waktu malam. Indahnya alam, indahnya taman. Semuanya indah." 

Tiap insan bebas mengekspresikan kerinduannya. Seniman punya yang unik. Tapi rindu ini datangnya dari seberang, dari pengembara dan pelaut lintas pulau, yang akhirnya berlabuh di Holandia, dan memuliakan Tuhan dan sesama lewat karya. Ia ingin kembali dan kembali.

Mengingat tempat-tempat dan saat bersama di suatu masa. Melukis aksara tentang Port Numbay. Siapa tahu kau tertarik datang dan membongkar ingatan akan kota ini. 

Saya memulai dengan beberapa tempat, pada ingatan yang tepat. Taman Imbi dengan ceritanya. Taman ini berada di jantung kota. Di dalamnya terdapat kantin. Bangunannya ikonik. Melengkung dan dilapisi kaca. Di puncaknya patung nan gagah berdiri. Patung Komodor Yos Sudarso. 

Mengopi dan makan papeda di dalamnya bagai sedang santai di kapal selam. Kau bakal tercengang. Bukan hanya pada bangunan dan sajian makanannya, melainkan juga karena sejarahnya. Taman Imbi dibangun untuk mengenang Komodor Yos Sudarso dan kawan-kawannya, yang tenggelam dalam perang merebut Papua dari Belanda, tahun 1962, di laut Arafuru. 

Di taman imbi, cinta bersemi dalam sunyi, disaksikan alam Port Numbay yang aduhai. Membekas dalam sanubari meski setapak jejak-jejaknya tersapu gelombang lautan Pasik. Lalu tiga puluh menit kemudian ke arah Abepura. 

Di Bukit Skyline, mama-mama di tepi jalan menjajakan es kelapa muda. Belaian angin dari Teluk Youtefa membuai manja pada penikmat es kelapa muda. Harganya terjangkau. Berkisar dari Rp 15 ribu hingga Rp 50 ribu. 

Sambil bersantai ria, es kelapa muda bahkan berpartisipasi menatap lekak-lekuk teluk Youtefa, laut yang biru, kampung Enggros dan Tobati di tengah lautan, dan pulau Kosong. Selangkah lagi ke arah bukit. Atau satu napas pendakian. 

Bukit Jokowi menanti. Sama dengan tenda-tenda atau pondok-pondok penyedia kelapa muda di tepi jalan. Sajiannya sama. Tapi ada sedikit bedanya. Di Bukit Jokowi, yang dibangun tahun 2014, keheningan menyambut tamu yang riuh. 

Sambil menatap bulan di kaki langit timur dan jembatan merah penghubung Hamadi dan Holtekamp, suasana makin asyik. 

Diakses dari Bandara Sentani, lamanya sekira satu jam. Melalui sisi barat tepian danau Sentani. Lalu kami menepi lagi. Sejenak di Abepura. Distrik kecil yang super padat. Wilayah yang dikenal dengan sebutan "Kota Pelajar"ini berbeda dari empat distrik lainnya. Terdapat banyak kampus dan sekolah di sini. 

Setidaknya, di sini tujuh kampus dan beberapa sekolah berdiri megah. Ada Universitas Cenderawasih (Uncen) Poltekes Kemenkes Jayapura, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), dan beberapa lainnya. Ada juga sekolah-sekolah. Jadi, pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah banyak di Abepura. Diskusi kecil, ilmiah, dan "baku tipu rame"juga terjadi di sini. Darah perjuangan dan intelektual bercampur jadi satu. 

Di sebuah sudut kantin, di lembah kolam kangkung di Padang Bulan, syair-syair rindu menyatu dalam kalbu. Menyata dalam cinta si nona manis. Terdapat juga kantor-kantor pemerintahan di Abepura: Majelis Rakyat Papua, dan bangunan bersejarahnya lainnya. Di sini juga ada pasar tradisional Pasar Youtefa, dan pusat perbelanjaan modern. 

Melangkahkan kaki ke tengah lautan. Mendayung sampan atau menunpangi perahu Jonson dari Teluk Youtefa ke Kampung Metu Debi. Tempat dengan gereja sejarahnya. 

Hingga kembali ke muka daratan. Tepat di depan kantor gubernur Papua. Pantai Dok II tepatnya. Anak-anak muda Jayapura biasa menyebutnya kupang atau kursi panjang. Ah, sekian dulu gambaran tentang kerinduan akan Jayapura. Masih banyak hal indah untuk dilukiskan. 

#Jpr. 1309+0110/2018,

Dari yang tercecer Oleh Martin Ruma

Baca Juga
Martin Ruma
Montir di Bengkel Kata. Sharing personal tentang Parenting, Guru, Menulis, LDK dan Blogging.

Artikel Terkait

Posting Komentar