BZWI8C3qMxmdvudEkXnedhGzdjepF89oa9U6FDLb

Artikel Pilihan

Bidin Putra Betawi Berjuang di Tanah Anarki: Catatan Perjalanan dan Refleksi Martin Karakabu Waktu Pertama Kali ke Jakarta

Bidin Putra Betawi Berjuang di Tanah Anarki: Catatan Perjalanan dan Refleksi Martin Karakabu Waktu Pertama Kali ke Jakarta
Bidin bersama istri/dok pribadi
Dalam setiap perjalanan selalu ada kisah, dan dalam setiap kisah selalu mengahdirkan decak kagum.


Sekiranya itulah kesanku pada sosok yang satu ini. Namanya Baharudin, familiarnya dipanggil Bidin, putra Betawi asli. Dia adalah pemandu awal bagiku, saat seorang anak kampung macam saya memutuskan untuk menetap di ibu kota Jakarta.


Jujur saat pilihan itu dibuat bagiku adalah langkah awal yang cukup nekat. Mengapa, pertama meninggalkan zona nyaman dengan gaji yang lumayan di tanah Papua.


Secara manusiawi ini adalah hal yang cukup sulit. Namun karena cinta memanggil, kuputuskan untuk mengingikuti kata hati meski jalannya terjal untuk dilalui oleh orang daerah seperti saya.


Berkat Bidin, sosok yang sederhana perlahan namun pasti “Jakarta yang kejam”, kutakluki meski bertati-tatih.


Ayah 3 orang anak ini memulai mengenalkanku dengan medan Jakarta dan sekitarnya di awal tahun 2013.


Gitaris kondang yang belajar otodidak ini, mulai mengenalkanku dengan situasi Jakarta dengan medan terjauh dan terluar kota Jakarta. Tangerang namanya. Saat itu kami mengantar kaca di daerah tersebut.


Situasi kemacetan ibu kota kucoba biasakan dalam perjalananku bersama saudaraku itu.


Tidak lupa penyuka musik ini menjelaskan rute dan nama-nama jalan padaku. “wah ini suatu bekal awal yang baik”. Pikirku saat itu.


Apa kesan mendalam dari perjalanan itu?.


Jika yang ditanya adalah kesan maka bukan Jakarta dengan gedung bertingkatnya yang menjadi istimewa, melainkan kesabaran seorang Bidinlah yang membuatku termotivasi.


Mengapa demikian?


Pekerjaan yang dilakoni suami dari Lili Apriani ini membutuhkan tingkat kestabilan emosi (baca: kesabaran) yang harus terus dijaga, sebab jika tidak nyawa menjadi taruhan.


Memang setiap pekerjaan penuh resiko namun pilihan yang dijalani bidin menurut saya cukup beresiko.


Mengantarkan kepingan kaca setebal sehelai rambut, itu cukup ekstrim bagiku.


Mulai menaikan dan menurunkan, semuanya sangat beresiko...ribet pokoknya (ribet, bahasa prokem Betawi yang merujuk pada tingkat kesulitan tertentu). 


Sedangkan kesejatarean minim dan jaminan yang nyaris tidak ada. 


Sunggu ironis putra Betawi berjuang di tanah leluhurnya sendiri. Itulah perjuangan hidup putra Betawi dalam menafkahi keluarga yang kusaksikan saat itu.


Perjalanan selanjutnya kucoba membiasakan diri dengan keanarkian ibu kota*. Penuh perjuangan memang, hingga di penghujung lelah dan sisa-sisa semangat kuterima panggilan telepon seluler nokia jadul yang kupunyai. Suara seberang mengatakan, “bapak bisa ke SMA Kanaan Jakarta sekarang untuk melalukan sesi wawancara?”.


Wah Puji Tuhan, meski belum pasti, sedikit kabar mencerahkan ini membangkitkan kembali semangatku yang nyaris padam.


Langkah selanjutnya, dengan sedikit kebingungan kucoba memulai langkah menuju SMA Kanaan Jakarta.


Mengapa bingung, karena saya tidak tahu letak SMA Kanaan Jakarta itu di mana. Ko bisa, ya ialah, orang yang mengantar lamaran isteri saya, heheh...’. Mengapa isterinya tidak mengantar?. Hari itu isteri saya kerja. Pusing kan?,


...”ah tidak biasa aja. Kalau sobat sekalian orang baru dan perantau, awalnya cukup sulit, tetapi jangan menyerah SELALU ADA JALAN BAGI YANG MAU BERUSAHA.


Perlahan namun pasti, kucoba ingat kembali nama jalan, rute dan lain sebagainya yang dijelaskan oleh saudaraku Bidin. Singkat cerita sampai juga saya di SMA Kanaan Jakarta hari itu.


Setelah melewati semua sesi yang cukup melelahkan akhirnya saya diterima sebagai guru di SMA Kanaan Jakarta, tempat saya mengajar hingga saat ini.


Kurang lebih setahun berkarya, lelah mendera, beda budaya, beda karakter, gaya komunikasi, dan sejuta penyesuain di tempat yang baru buatku lelah.


Hingga suatu hari pemandu jalan hidup di ibu kota itu datang padaku dan berkata, “om ada cenel kah, saya sepertinya mau keluar dari Berkah”. Wah itu sulit dan saya tidak bisa membantu apa-apa karena saya tidak tahu dengan cara apa bisa membantu orang yang telah membantuku itu.


Setiap hari kusaksikan putra Betawi dengan pendidikan seadanya itu bertarung di tanah anarki tempat leluhurnya sendiri.


Akhirnya, perjuangan yang tidak kenal lelah itu membuahkan hasil, musisi otodidak itu mendapatkan pekerjaan.


Sebuah pemikiran klasik saat itu muncul, Martin engkau itu seorang perantau,bersyukurlah dengan apa yang engkau punyai sebab mencari kerja di Jakarta itu gampang-gampang sulit.


Akhirnya kuputuskan, bertahan, berjuang, dan terus berkarya dengan apa yang saya bisa di SMA Kanaan Jakarta. Sampai kapan?, hanya waktu yang bisa menjawabnya.


Pembaca terkasih, dari secuil kisahku bersama putra Betawi ini; sekiranya ada dua hal yang bisa kita refleksikan kembali. Pertama soal bertahan hidup. Kedua soal belajar dari hidup.


Bertahan Hidup

Jika ada yang mengatakan hidup itu harus dinikmati, secangkir kopi, sebatang rokok, beraso di depan teras, sambil mendengarkan siulan burung dalam sangkar, bagiku ini orang malas dan tidak bertanggung jawab.


Bolehkan kalau beda pendapat gan?, (Silahkan tulis di kolom komentar, jika pendapatnya beda). Jika itu dilakukan untuk rehat sejenak, sembari beraso bersama keluarga yang ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Itu wajar. 


Tetapi kalau setiap hari mah, apa kata dunia, hehehhee....”


Bagi anak kampung dan perantau macam saya, hidup itu adalah suatu perjuangan yang tidak pernah berhenti selama kita masih bernafas.


Sederhana saja, untuk bertahan hidup anda butuh makan, untuk makan anda butuh duit, untuk dapat duit anda harus kerja. Supaya dapat kerja, apalagi di Jakarta harus butuh perjuangan karena di Jakarta tidak ada yang gratis.


Kencing saja bayar, orang mati saja butuh duit. Kira-kira seperti itulah konsep saya tentang bertahan hidup.


Belajar dari Hidup

Hidup itu ibarat sebuah buku yang selalu mengajari kita arti berjuang dari orang di sekitar. Soal kesabaran dan lain sebagainya.


Jika diantara sidang pembaca yang tidak suka membaca buku pskologi maupun buku motivasi yang super tebal, rekomendasi saya, amatilah orang-orang di sekitarmu.


Bagimana perjuangan seorang tukang ikan dalam mencari nafkah, atau suka duka seorang tukang ojek, di sana ada pelajaran hidup yang bisa kita kita ambil maknanya. 

Itulah maksud saya tentang belajar dari hidup. *Martin Ruma Depores Karakabu*


Baca Juga
Martin Ruma
Montir di Bengkel Kata. Sharing personal tentang Parenting, Guru, Menulis, LDK dan Blogging.

Artikel Terkait

Posting Komentar